Jumat, 06 Mei 2011

MBS

KONSEP MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
(INTISARI MATERI DIKLAT PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENDIK DIKNAS TAHUN 2010)

Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah masih rendahnya mutu pendidikan dari sebagian sekolah khususnya sekolah dasar dan menengah di pedesaan, misalnya di pedalaman dan di perbatasan. Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan delapan (8) standar nasional pendidikan, alokasi dana pendidikan minimal 20% APBN dan APBD, sertifikasi pendidik beserta tunjangan profesinya, penerapan ujian nasional, peningkatan partisipasi masyarakat dalam pendidikan, dan sejumlah terobosan baru berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun demikian, mutu pendidikan nasional belum merata di seluruh tanah air. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, secara umum, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, sebaliknya sebagian lainnya khususnya di pedesaan, masih memprihatinkan. Jadi, kesenjangan mutu pendidikan nasional masih cukup lebar.

Berdasarkan kenyataan ini, berbagai pihak mempertanyakan: apa penyebab kesenjangan mutu pendidikan nasional yang masih lebar ini? Tentu saja jawabannya adalah banyak faktor yang menyebabkan lebarnya kesenjangan mutu pendidikan nasional, tiga diantaranya adalah: (1) penerapan pendekatan sistem secara parsial, (2) belum maksimalnya penerapan MBS, dan (3) rendahnya partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah.

Faktor pertama, penerapan pendekatan sistem dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sering dilaksanakan secara parsial. Sekolah sebagai sistem terdiri dari konteks, input, proses, output, dan outcome. Dalam kenyataannya, pengembangan sekolah sering difokuskan pada input saja (guru, kurikulum, sarana dan prasarana, dana, dsb.), proses saja (proses belajar mengajar, penilaian hasil belajar, kepemimpinan sekolah, dsb.), atau output saja (nilai ujian nasional, perlombaan karya ilmiah, dsb.). Padahal, penyelenggaraan sekolah sebagai sistem harus dilakukan secara utuh, tidak parsial, apalagi parosial. Artinya, pengembangan sekolah secara sistem harus mencakup seluruh komponen sekolah secara utuh mulai dari konteks, input, proses, output, hingga sampai outcome.

Faktor kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional yang dilakukan secara birokratik-sentralistik telah menempatkan sekolah sebagai subordinasi yang sangat tergantung pada keputusan birokrasi diatasnya yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang diberlakukan kurang sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Karena sekolah lebih merupakan subordinasi dari birokrasi di atasnya, maka mereka kehilangan kemandiriannya, terpasung kreatifitasnya/inisiatifnya, rendah keluwesannya, rendah motivasinya, dan rendah keberanian moralnya untuk melakukan hal-hal baru yang diperlukan untuk memajukan sekolahnya.

Faktor ketiga, peranserta warga sekolah khususnya guru, karyawan dan siswa serta peranserta masyarakat khususnya orangtua siswa dalam penyelenggaraan sekolah selama ini belum optimal. Partisipasi guru dalam pengambilan keputusan sering diabaikan, padahal terjadi atau tidaknya perubahan di sekolah sangat tergantung pada guru. Dikenalkan pembaruan apapun jika guru tidak berubah, maka tidak akan terjadi perubahan di sekolah tersebut. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya sebatas pada dukungan dana, sedang dukungan-dukungan lain seperti pemikiran, moral, pisik, dan material belum optimal. Padahal, kesuksesan sekolah sangat memerlukan teamwork yang kompak, cerdas, dinamis, harmonis, dan lincah. Hal ini hanya akan terjadi apabila pertisipasi warga sekolah dan masyarakat maksimal. Partisipasi maksimal akan mampu meningkatkan rasa kepemilikan terhadap sekolah dan rasa kepemilikan akan meningkatkan dedikasi warga sekolah dan masyarakat terhadap sekolah.

Berdasarkan ketiga faktor tersebut, tentu saja perlu dilakukan upaya-upaya penyampurnaan, salah satunya adalah mempertegas konsep dasar MBS dan memperkuat pelaksanaannya. Oleh karena itu, pembahasan MBS selanjutnya akan difokuskan pada: (1) landasan yuridis, (2) asumsi-asumsi diterapkannya MBS, (3) prakondisi yang diperlukan dalam penyelenggaraan MBS, (4) konsep dasar MBS yang meliputi: pola baru manajemen pendidikan masa depan, arti, tujuan, karakteristik MBS, dan urusan-urusan yang didesentralisasikan ke sekolah, dan (5) pelaksanaan MBS. Kelima bahasan tersebut akan diuraikan seperlunya pada bab-bab berikut.

LANDASAN YURIDIS
Penerapan MBS dilandasi oleh peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku di Indonesia, yaitu:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab XIV, Pasal 51, Ayat (1);
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab II, Pasal 3);
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab VIII, Pasal 49, Ayat (1);
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah;
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan; dan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

ASUMSI-ASUMSI DITERAPKANNYA MBS
MBS diterapkan dengan asumsi-asumsi sebagai berikut:
dengan pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah, maka sekolah akan lebih kreatif, inisiatif, dan inovatif dalam meningkatkan kinerja sekolah;
dengan pemberian fleksibilitas/keluwesan-keluwesan yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdayanya, maka sekolah akan lebih luwes dan lincah dalam mengadakan dan memanfaatkan sumberdaya secara optimal untuk meningkatkan mutu sekolah;
sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya sehingga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan sekolah;
sekolah lebih mengetahui kebutuhannya, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan karakteristik mata pelajaran dan tingkat perkembangan serta kebutuhan peserta didik;
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi sekolahnya;
penggunaan sumberdaya pendidikan lebih efektif dan efisien jika dikontrol oleh warga sekolah dan masyarakat setempat;
keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan akan mampu meningkatkan rasa kepemilikan, dedikasi, transparansi, akuntabilitas, dan kepercayaan publik terhadap sekolah;
sekolah lebih bertanggungjawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah dan pemerintah daerah, orangtua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya sehingga sekolah akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan;
sekolah akan mampu bersaing secara sehat dengan sekolah-sekolah lainnya dalam peningkatan mutu pendidikan melalui upaya-upaya kreatif dan inovatif yang didukung oleh orangtua siswa, masyarakat sekitar, dan pemerintah daerah setempat; dan
sekolah dapat secara cepat menanggapi perubahan, aspirasi masyarakat, dan lingkungan yang berubah dengan cepat.

PRAKONDISI YANG DIPERLUKAN UNTUK MENYELENGGARAKAN MBS
Sekolah yang akan menerapkan MBS perlu menyiapkan persyaratan berikut. Persyaratan ini bukan dimaksudkan untuk menghambat sekolah yang tidak memenuhinya untuk melaksanakan MBS, tetapi lebih merupakan petunjuk penyiapan bagi sekolah-sekolah yang akan menerapkan MBS. Sekolah yang hanya mampu memenuhi sebagian persyaratan, tetap bisa menerapkan MBS sambil melengkapi persyaratan yang belum dapat dipenuhi. Oleh karena itu, persyaratan berikut bukan merupakan harga mati, akan tetapi lebih merupakan saran yang masih terbuka untuk dimodifikasi, dikurangi atau ditambah sesuai dengan karakteristik sekolah dan masyarakat sekitarnya. Adapun prakondisi yang diperlukan untuk melaksanakan MBS adalah sebagai berikut.

Pertama, warga sekolah (sumberdaya manusianya) harus siap diajak untuk melakukan perubahan pada dirinya, baik pola pikirnya (mind set), pola hatinya (heart set), maupun pola tindakannya (action set). Artinya, warga sekolah harus pro-perubahan, bukan pro-kemapanan, educable/trainable (mau diajak belajar/dilatih). Sekolah juga harus memiliki sumberdaya yang memadai, baik sumberdaya manusianya maupun sumberdaya selebihnya yaitu dana, peralatan, perlengkapan, perbekalan, dan material/bahan.

Kedua, sekolah sebagai institusi pendidikan juga harus siap untuk menerapkan MBS sebagaipola baru, misalnya perencanaannya, pengorganisasiannya, pelaksanaannya, pengkoordinasiannya, dan pengontrolannya. Artinya, sekolah harus mau melakukan restrukturisasi (perubahan) terhadap manajemen dan organisasinya agar akomodatif terhadap penerapan MBS.

Ketiga, kultur sekolah juga harus siap dan kondusif untuk menghadapi tuntutan baru MBS, misalnya penghargaan terhadap perbedaan pendapat, menjunjung tinggi hak asasi manusia, musyawarah-mufakat dapat dilaksanakan, demokrasi/egaliterisme pendidikan dapat ditumbuh kembangkan, masyarakat sekitar dapat disadarkan akan pentingnya pendidikan, dan masyarakat sekitar melalui komite sekolah dapat digerakkan untuk mendukung MBS.

Keempat, sekolah memiliki kemampuan mengarahkan dan membimbing warganya melalui penyusunan kebijakan, rencana, dan program yang jelas untuk menyelenggarakan MBS. Ini semua dilakukan secara partisipatif oleh warga sekolah.

Kelima, sekolah memiliki sistem tata kelola yang baik untuk mempromosikan partisipasi dan transparansi kepada warga sekolah dan masyarakat sekitar serta akuntabilitas sekolah terhadap publik sehingga sekolah akan merupakan bagian dari (milik) masyarakat dan bukannya sekolah yang berada di masyarakat.

Keenam, dukungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menerapkan MBS cukup kuat, yang ditunjukkan oleh pemberian arah, bimbingan, pengaturan, dan monitoring serta evaluasi yang diperlukan untuk kelancaran penyelenggaraan MBS. Lebih dari itu, sekolah diberi kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar (otonomi) untuk menyelenggarakan sekolahnya.

POLA BARU PENDIDIKAN MASA DEPAN
Bukti-bukti empirik lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional dan digulirkannya otonomi daerah telah mendorong dilakukannya penyesuaian diri dari pola lama manajemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan masa depan yang lebih bernuansa otonomi dan yang lebih demokratis.

Pada Pola Lama, tugas dan fungsi sekolah lebih pada melaksanakan program dari pada mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh sekolah. Sedang pada Pola Baru, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif dan partsisipasi masyarakat makin besar, sekolah lebih luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan dari pada pendekatan birokrasi, pengelolaan sekolah lebih desentralistik, perubahan sekolah lebih didorong oleh motivasi-diri sekolah dari pada diatur dari luar sekolah, regulasi pendidikan lebih sederhana, peranan pusat bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan ke memfasilitasi, dari menghindari resiko menjadi mengolah resiko, penggunaan uang lebih efisien karena sisa anggaran tahun ini dapat digunakan untuk anggaran tahun depan (efficiency-based budgeting), lebih mengutamakan teamwork, informasi terbagi ke semua warga sekolah, lebih mengutamakan pemberdayaan, dan struktur organisasi lebih datar sehingga lebih efisien.

ARTI MBS
Secara umum, manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan sebagainya.), untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan dan tanggungjawab untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntutan sekolah serta masyarakat atau stakeholder yang ada. (Catatan: MBS tidak dibenarkan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku).

Otonomi dapat diartikan sebagai kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas). Istilah otonomi juga sama dengan istilah “swa”, misalnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumberdaya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.

Dengan otonomi yang lebih besar, sekolah memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang, tentu saja, lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan/potensi yang dimiliki. Dengan fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal.

Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, di mana warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dan sebagainya.) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya: makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula dedikasinya.

Tentu saja pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan keterbukaan, kerjasama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan. Keterbukaan yang dimaksud adalah keterbukaan dalam program dan keuangan. Kerjasama yang dimaksud adalah adanya sikap dan perbuatan lahiriyah kebersamaan/kolektif untuk meningkatkan mutu sekolah. Kerjasama sekolah yang baik ditunjukkan oleh hubungan antar warga sekolah yang erat, hubungan sekolah dan masyarakat erat, dan adanya kesadaran bersama bahwa output sekolah merupakan hasil kolektif teamwork yang kompak, cerdas dan dinamis. Akuntabilitas sekolah adalah pertanggungjawaban sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat dan pemerintah melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka. Sedang demokrasi pendidikan adalah kebebasan yang terlembagakan melalui musyawarah dan mufakat dengan menghargai perbedaan, hak asasi manusia serta kewajibannya dalam rangka untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan sekolah telah diatur dalam suatu kelembagaan yang disebut dengan Komite Sekolah. Secara resmi keberadaan Komite Sekolah ditunjukkan melalui Surat Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dalam hal pembentukannya, Komite Sekolah menganut prinsip transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi. Komite Sekolah diharapkan menjadi mitra sekolah yang dapat mewadahi dan menyalurkan aspirasi serta prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di sekolah. Tugas dan fungsi Komite Sekolah antara lain mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; mendorong orangtua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan; dan menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.

Selain itu, Komite Sekolah juga dapat memberikan masukan dan pertimbangan kepada sekolah tentang kebijakan dan program pendidikan, rencana anggaran pendidikan dan belanja sekolah. Pendeknya, Komite Sekolah diharapkan berperan sebagai pendukung, pemberi pertimbangan, mediator dan pengontrol penyelenggaraan pendidikan di sekolah.

Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-keluwesan yang lebih besar diberikan kepada sekolah, maka sekolah akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdayanya. Dengan cara ini, sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Namun demikian, keluwesan-keluwesan yang dimaksud harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ada.

Dengan pengertian di atas, maka sekolah memiliki kemandirian lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Dengan kepemilikan ketiga hal ini, maka sekolah akan merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit di atasnya (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Provinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung dan pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.

Sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut: sifat ketergantungan rendah; kreatif dan inisiatf, adaptif dan antisipatif/proaktif terhadap perubahan; memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (inovatif, gigih, ulet, berani mengambil resiko, dan sebagainya); bertanggungjawab terhadap kinerja sekolah; memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumberdayanya; memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya. Selanjutnya, bagi sumberdaya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya, memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggungjawab, pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya di mana, dia memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.

Contoh tentang hal-hal yang dapat memandirikan/memberdayakan warga sekolah adalah: pemberian kewenangan, pemberian tanggungjawab, pekerjaan yang bermakna, pemecahan masalah sekolah secara teamwork, variasi tugas, hasil kerja yang terukur, kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah bagian penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus, sumberdaya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah diberlakukan sebagai manusia ciptaan-Nya yang memiliki martabat tertinggi.

TUJUAN MBS
MBS bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola sekolah yang baik yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Peningkatan kinerja sekolah yang dimaksud meliputi peningkatan kualitas, efektivitas, efisiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan.

Dengan MBS, sekolah diharapkan makin mampu dan berdaya dalam mengurus dan mengatur sekolahnya dengan tetap berpegang pada koridor-koridor kebijakan pendidikan nasional. Perlu digarisbawahi bahwa pencapaian tujuan MBS harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan sebagainya)

KAREKTIRISTIK MBS
Manajemen Berbasis Sekolah memiliki karakteristik yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya. Dengan kata lain, jika sekolah ingin sukses dalam menerapkan MBS, maka sejumlah karakteristik MBS berikut perlu dimiliki. Berbicara karakteristik MBS tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik sekolah efektif. Jika MBS merupakan wadah/kerangkanya, maka sekolah efektif merupakan isinya. Oleh karena itu, karakteristik MBS berikut memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah efektif, yang dikategorikan menjadi input, proses, dan output.

Dalam menguraikan karakteristik MBS, pendekatan sistem yaitu input-proses-output digunakan untuk memandunya. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah merupakan sistem sehingga penguraian karakteristik MBS (yang juga karakteristik sekolah efektif) mendasarkan pada input, proses, dan output. Selanjutnya, uraian berikut dimulai dari output dan diakhiri input, mengingat output memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedang proses memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih rendah dari output, dan input memiliki tingkat kepentingan dua tingkat lebih rendah dari output.

OUTPUT YANG DIHARAPKAN
Sekolah memiliki output yang diharapkan. Output sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan manajemen di sekolah. Pada umumnya, output dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output berupa prestasi akademik (academic achievement) dan output berupa prestasi non-akademik (non-academic achievement). Output prestasi akademik misalnya, NUN/NUS, lomba karya ilmiah remaja, lomba (Bahasa Inggris, Matematika, Fisika), cara-cara berpikir (kritis, kreatif/ divergen, nalar, rasional, induktif, deduktif, dan ilmiah). Output non-akademik, misalnya keingintahuan yang tinggi, harga diri, akhlak/budipekerti, perilaku sosial yang baik seperti misalnya bebas narkoba, kejujuran, kerjasama yang baik, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi, kedisiplinan, kerajinan, prestasi olahraga, kesenian, dan kepramukaan.

PROSES
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik proses sebagai berikut: Proses Belajar

1. Mengajar yang Efektivitasnya Tinggi
Sekolah yang menerapkan MBS memiliki efektivitas proses belajar mengajar (PBM) yang tinggi. Ini ditunjukkan oleh sifat PBM yang menekankan pada pemberdayaan peserta didik. PBM bukan sekadar memorisasi dan recall, bukan sekadar penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos), akan tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati (ethos) serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik (pathos). PBM yang efektif juga lebih menekankan pada belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).

2. Kepemimpinan Sekolah yang Kuat
Pada sekolah yang menerapkan MBS, kepala sekolah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumberdaya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Secara umum, kepala sekolah tangguh memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya sekolah, terutama sumberdaya manusia, untuk mencapai tujuan sekolah.

3. Lingkungan Sekolah yang Aman dan Tertib
Sekolah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning). Karena itu, sekolah yang efektif selalu menciptakan iklim sekolah yang aman, nyaman, tertib melalui pengupayaan faktor-faktor yang dapat menumbuhkan iklim tersebut. Dalam hal ini, peranan kepala sekolah sangat penting sekali.

4. Pengelolaan Tenaga Kependidikan yang Efektif
Tenaga Kependidikan, terutama guru, merupakan jiwa dari sekolah. Sekolah hanyalah merupakan wadah. Sekolah yang menerapkan MBS menyadari tentang hal ini. Oleh karena itu, pengelolaan tenaga kependidikan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan garapan penting bagi seorang kepala sekolah.

Terlebih-lebih pada pengembangan tenaga kependidikan, ini harus dilakukan secara terus-menerus mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat. Pendeknya, tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menyukseskan MBS adalah tenaga kependidikan yang mempunyai komitmen tinggi, selalu mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan baik.

5. Sekolah Memiliki Budaya Mutu
Budaya mutu tertanam di sanubari semua warga sekolah, sehingga setiap perilaku selalu didasari oleh profesionalisme. Budaya mutu memiliki elemen-elemen sebagai berikut: (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggungjawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (rewards) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis untuk kerjasama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah.

6. Sekolah Memiliki “Teamwork” yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis
Kebersamaan (teamwork) merupakan karakteristik yang dituntut oleh MBS, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Karena itu, budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, antar individu dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari warga sekolah.

7. Sekolah Memiliki Kewenangan
Sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan yang terbaik bagi sekolahnya sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan pada atasan. Untuk menjadi mandiri, sekolah harus memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjalankan tugas dan fungsinya, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya selebihnya yaitu peralatan, perlengkapan, perbekalan, dana, dan bahan/material.

8. Partisipasi yang Tinggi dari Warga Sekolah dan Masyarakat
Sekolah yang menerapkan MBS memiliki karakteristik bahwa partisipasi warga sekolah dan masyarakat merupakan bagian kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat partisipasi, makin besar rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula tingkat dedikasinya.

9. Sekolah Memiliki Keterbukaan (Transparansi) Manajemen
Keterbukaan/transparansi dalam pengelolaan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan MBS. Keterbukaan/transparansi ini ditunjukkan dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagainya, yang selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol.

10. Sekolah Memiliki Kemauan untuk Berubah (psikologis dan pisik)
Perubahan harus merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi semua warga sekolah. Sebaliknya, kemapanan merupakan musuh sekolah. Tentu saja yang dimaksud perubahan adalah peningkatan, baik bersifat fisik maupun psikologis. Artinya, setiap dilakukan perubahan, hasilnya diharapkan lebih baik dari sebelumnya (ada peningkatan) terutama mutu peserta didik.

11. Sekolah Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan
Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar di sekolah. Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan dan secara terus menerus.

Perbaikan secara terus-menerus harus merupakan kebiasaan warga sekolah. Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu, sistem mutu yang baku sebagai acuan bagi perbaikan harus ada. Sistem mutu yang dimaksud harus mencakup struktur organisasi, tanggungjawab, prosedur, proses dan sumberdaya untuk menerapkan manajemen mutu.

12. Sekolah Responsif dan Antisipatif terhadap Kebutuhan
Sekolah selalu tanggap/responsif terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu, sekolah selalu membaca lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan tepat. Bahkan, sekolah tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap perubahan/tuntutan, akan tetapi juga mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi. Menjemput bola, adalah padanan kata yang tepat bagi istilah antisipatif.

13. Memiliki Komunikasi yang Baik
Sekolah yang efektif umumnya memiliki komunikasi yang baik, terutama antar warga sekolah, dan juga sekolah-masyarakat, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing warga sekolah dapat diketahui. Dengan cara ini, maka keterpaduan semua kegiatan sekolah dapat diupayakan untuk mencapai tujuan dan sasaran sekolah yang telah dipatok. Selain itu, komunikasi yang baik juga akan membentuk teamwork yang kuat, kompak, dan cerdas, sehingga berbagai kegiatan sekolah dapat dilakukan secara merata oleh warga sekolah.

14. Sekolah Memiliki Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk laporan prestasi yang dicapai dan dilaporkan kepada pemerintah, orangtua siswa, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program ini, pemerintah dapat menilai apakah program MBS telah mencapai tujuan yang dikendaki atau tidak. Jika berhasil, maka pemerintah perlu memberikan penghargaan kepada sekolah yang bersangkutan, sehingga menjadi faktor pendorong untuk terus meningkatkan kinerjanya di masa yang akan datang. Sebaliknya jika program tidak berhasil, maka pemerintah perlu memberikan teguran sebagai hukuman atas kinerjanya yang dianggap tidak memenuhi syarat.

Demikian pula, para orangtua siswa dan anggota masyarakat dapat memberikan penilaian apakah program ini dapat meningkatkan prestasi anak-anaknya secara individual dan kinerja sekolah secara keseluruhan. Jika berhasil, maka orangtua peserta didik perlu memberikan semangat dan dorongan untuk peningkatan program yang akan datang. Jika kurang berhasil, maka orangtua siswa dan masyarakat berhak meminta pertanggungjawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan program MBS yang telah dilakukan. Dengan cara ini, maka sekolah tidak akan main-main dalam melaksanakan program pada tahun-tahun yang akan datang.

15. Manajemen Lingkungan Hidup Sekolah Bagus
Sekolah efektif melaksanakan manajemen lingkungan hidup sekolah secara efektif. Sekolah memiliki perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengkoordinasian, dan pengevaluasian pendidikan kecakapan hidup (program adiwiyata) yang dikembangkan secara terus menerus dari waktu ke waktu. Sekolah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran warga sekolah tentang nilai-nilai lingkungan hidup dan mampu mengubah perilaku dan sikap warga sekolah untuk menuju lingkungan hidup yang sehat.

16. Sekolah memiliki Kemampuan Menjaga Sustainabilitas
Sekolah yang efektif juga memiliki kemampuan untuk menjaga kelangsungan hidupnya (sustainabilitasnya) baik dalam program maupun pendanaannya. Sustainabilitas program dapat dilihat dari keberlanjutan program-program yang telah dirintis sebelumnya dan bahkan berkembang menjadi program-program baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sustainabilitas pendanaan dapat ditunjukkan oleh kemampuan sekolah dalam mempertahankan besarnya dana yang dimiliki dan bahkan makin besar jumlahnya. Sekolah memiliki kemampuan menggali sumberdana dari masyarakat, dan tidak sepenuhnya menggantungkan subsidi dari pemerintah bagi sekolah-sekolah negeri.


INPUT PENDIDIKAN

1. Memiliki Kebijakan, Tujuan, dan Sasaran Mutu yang Jelas

Secara formal, sekolah menyatakan dengan jelas tentang keseluruhan kebijakan, tujuan, dan sasaran sekolah yang berkaitan dengan mutu. Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu tersebut dinyatakan oleh kepala sekolah. Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu tersebut disosialisasikan kepada semua warga sekolah, sehingga tertanam pemikiran, tindakan, kebiasaan, hingga sampai pada kepemilikan karakter mutu oleh warga sekolah.

2. Sumberdaya Tersedia dan Siap
Sumberdaya merupakan input penting yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan di sekolah. Tanpa sumberdaya yang memadai, proses pendidikan di sekolah tidak akan berlangsung secara memadai, dan pada gilirannya sasaran sekolah tidak akan tercapai. Sumberdaya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan lainnya (uang, peralatan, perlengkapan, bahan, dan sebagainya) dengan penegasan bahwa sumberdaya lainnya tidak mempunyai arti apapun bagi perwujudan sasaran sekolah, tanpa campur tangan sumberdaya manusia.

Secara umum, sekolah yang menerapkan MBS harus memiliki tingkat kesiapan sumberdaya yang memadai untuk menjalankan proses pendidikan. Artinya, segala sumberdaya yang diperlukan untuk menjalankan proses pendidikan harus tersedia dan dalam keadaan siap. Ini bukan berarti bahwa sumberdaya yang ada harus mahal, akan tetapi sekolah yang bersangkutan dapat memanfaatkan keberadaan sumberdaya yang ada dilingkungan sekolahnya. Karena itu, diperlukan kepala sekolah yang mampu memobilisasi sumberdaya yang ada di sekitarnya.

3. Staf yang Kompeten dan Berdedikasi Tinggi
Meskipun pada butir (b) telah disinggung tentang ketersediaan dan kesiapan sumberdaya manusia (staf), namun pada butir ini perlu ditekankan lagi karena staf merupakan jiwa sekolah. Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki staf yang mampu (kompeten) dan berdedikasi tinggi terhadap sekolahnya. Implikasinya jelas, yaitu, bagi sekolah yang ingin efektivitasnya tinggi, maka kepemilikan staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi merupakan keharusan.

4. Memiliki Harapan Prestasi yang Tinggi
Sekolah yang menerapkan MBS mempunyai dorongan dan harapan yang tinggi untuk meningkatkan prestasi peserta didik dan sekolahnya. Kepala sekolah memiliki komitmen dan motivasi yang kuat untuk meningkatkan mutu sekolah secara optimal. Guru memiliki komitmen dan harapan yang tinggi bahwa anak didiknya dapat mencapai tingkat prestasi yang maksimal, walaupun dengan segala keterbatasan sumberdaya pendidikan yang ada di sekolah. Sedang peserta didik juga mempunyai motivasi untuk selalu meningkatkan diri untuk berprestasi sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Harapan tinggi dari ketiga unsur sekolah ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sekolah selalu dinamis untuk selalu menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya.

5. Fokus pada Pelanggan (Khususnya Siswa)
Pelanggan, terutama siswa, harus merupakan fokus dari semua kegiatan sekolah. Artinya, semua input dan proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik. Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan input dan proses belajar mengajar harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan dari siswa.

6. Input Manajemen
Sekolah yang menerapkan MBS memiliki input manajemen yang memadai untuk menjalankan roda sekolah. Kepala sekolah dalam mengatur dan mengurus sekolahnya menggunakan sejumlah input manajemen. Kelengkapan dan kejelasan input manajemen akan membantu kepala sekolah mengelola sekolahnya dengan efektif. Input manajemen yang dimaksud meliputi: tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis, program yang mendukung bagi pelaksanaan rencana, ketentuan-ketentuan (aturan main) yang jelas sebagai panduan bagi warga sekolahnya untuk bertindak, dan adanya sistem pengendalian mutu yang efektif dan efisien untuk meyakinkan agar sasaran yang telah disepakati dapat dicapai.

URUSAN-URUSAN YANG MENJADI KEWENANGAN DAN TANGGUNGJAWAB SEKOLAH
Secara umum, pergeseran dimensi-dimensi pendidikan dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah telah diuraikan pada Butir A. Secara lebih spesifik, pertanyaannya adalah: “Urusan-urusan apa sajakah yang perlu menjadi kewenangan dan tanggungjawab sekolah”? Pada dasarnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urutan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah kabupaten/Kota harus digunakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, desentralisasi urusan-urusan pendidikan harus dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlu dicatat bahwa desentralisasi bukan berarti semua urusan di limpahkan ke sekolah. Artinya, tidak semua urusan di desentralisasikan sepenuhnya ke sekolah, sebagian urusan masih merupakan kewenangan dan tanggungjawab Pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan sebagian urusan lainnya diserahkan ke sekolah. Berikut adalah urusan-urusan pendidikan yang sebagian menjadi kewenangan dan tanggungjawab sekolah, yaitu: (a) proses belajar mengajar, (b) perencanaan dan evaluasi program sekolah, (c) pengelolaan kurikulum, (d) pengelolaan ketenagaan, (e) pengelolaan peralatan dan perlengkapan, (f) pengelolaan keuangan, (g) pelayanan siswa, (h) hubungan sekolah-masyarakat, dan (i) pengelolaan kultur sekolah.

a. Pengelolaan Proses Belajar Mengajar
Proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumberdaya yang tersedia di sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran dan pengajaran yang dipilih harus pro-perubahan yaitu yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi dan eksperimentasi peserta didik untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru. Pembelajaran dan pengajaran kontekstual, pembelajaran kuantum, pembelajaran kooperatif, adalah contoh-contoh yang dimaksud dengan pembelajaran yang pro-perubahan.

b. Perencanaan dan Evaluasi
Sekolah diberi kewenangan untuk menyusun rencana pengembangan sekolah (RPS) atau school-based plan sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan yang dimaksud, misalnya, kebutuhan untuk meningkatkan pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi sekolah. Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi sekolah. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan tersebut, kemudian sekolah membuat rencana peningkatan pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi sekolah.

Untuk itu, sekolah harus melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil program-program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya.

c. Pengelolaan Kurikulum
Saat ini telah terjadi desentralisasi sebagian pengelolaan kurikulum dari pemerintah pusat ke sekolah melalui Permendiknas 22/2006, 23/2006, dan 24/2006. Pengelolaan kurikulum yang dimaksud dinamakan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Pemerintah Pusat hanya menetapkan standar dan sekolah diharapkan mengoperasionalkan standar yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Dalam kondisi seperti ini, sekolah dipersilakan memilih cara-cara yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing. Sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, memperkuat, memperluas, mendiversifikasi) kurikulum, namun tidak boleh mengurangi standar isi yang telah tertuang dalam Permendiknas 22/2006. Selanjutnya sekolah berhak mengembangkan KTSP ke dalam silabus, materi pokok pembelajaran, proses pembelajaran, indikator kunci kinerja, sistem penilaian, dan rencana pelaksanaan pembelajaran.

Sekolah dibolehkan memperkaya mata pelajaran yang diajarkan, artinya, apa yang diajarkan boleh diperluas dari yang harus, yang seharusnya, dan yang dapat diajarkan. Demikian juga, sekolah dibolehkan mendiversifikasi kurikulum, artinya, apa yang diajarkan boleh dikembangkan agar lebih kontekstual dan selaras dengan karakteristik peserta didik. Selain itu, sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan muatan local dan pengembangan diri.

d. Pengelolaan Ketenagaan (Pendidik dan Tenaga Kependidikan)
Pengelolaan ketenagaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sangsi (reward and punishment), hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran, dan sebagainya.) dapat dilakukan oleh sekolah, kecuali yang menyangkut pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen guru pegawai negeri, yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.

e. Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan)
Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga pengembangan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.

f. Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami kebutuhannya, sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan” (income generating activities), sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.

g. Pelayanan Siswa
Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan/ pembinaan/pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja, hingga sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu memang sudah didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.

h. Hubungan Sekolah-Masyarakat
Esensi hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan finansial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah didesentralisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi, yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah-masyarakat.

i. Pengelolaan Kultur Sekolah
Kultur sekolah (pisik dan nir-pisik) yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang aktif, kreatif, inovatif, efektif, dan menyenangkan. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan/ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities) adalah contoh-contoh kultur sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Kultur sekolah sudah merupakan kewenangan dan tanggungjawab sekolah sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstentif.

Dalam MBS, sekolah memiliki mitra yang mewakili masyarakat sekitarnya yang disebut komite sekolah. Tugas dan fungsi komite sekolah dalam pelaksanaan MBS adalah: (1) memberi masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada sekolah mengenai kebijakan dan program pendidikan, RAPBS, kriteria kinerja sekolah, kriteria pendidik dan tenaga kependidikan, kriteria fasilitas pendidikan, dan hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan; (2) mendorong orangtua siswa dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan, menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan, mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu tinggi, melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan/program/ penyelenggaraan dan keluaran pendidikan, melakukan kerjasama dengan masyarakat, dan menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
--------------------------------------------------NN---------------------------------------------------------


Tidak ada komentar:

Posting Komentar